Lebih dari satu tahun sudah, manusia berdampingan dengan pandemi ini. Buat saya pribadi, 10 bulan dengan protokol lengkap yang di penghujungnya harus menelan patah hati. Virus itu, pada akhirnya menyerang saya dan keluarga tepat di ujung tahun 2020.
Urusan data, teman-teman bisa dengan mudah temui infografisnya di PandemicTalk atau laman berita manapun. Kita sama-sama tau, Republik ini lagi berada di titik keos-keosnya. Kalau saya mau caci maki Pemerintah, mungkin satu buku Makroekonomi karya Gregory Mankiw juga kalah tebalnya. Tapi ya memang apa sih yang bisa diharapin dari Pemerintah? Mau ganti caci maki si tidak taat protokol? Atau yang percaya betul ini virus cuma konspirasi? Buang-buang energi, Bu.
Pada akhirnya, yang bisa kita andalkan sekarang adalah imun masing-masing. Yang bisa kita kontrol, adalah mental dan kesiapan kita sendiri. Sisanya berharap perlindungan dari Allah agar dijauhkan dari si carrier. Ga lebih.
Saya mau cerita sedikit tentang bagaimana akhirnya saya dan keluarga dinyatakan positif Covid, dan apa yang kami lalui sampai melewati titik kritisnya.
Test Positive.
Waktu itu tanggal 28 Desember 2020. Saat saya buka grup keluarga, dan membaca satu per satu kabar bahwa beberapa Tante, Om, dan Sepupu menyatakan positif Covid. Ditanggapi dengan reply dari Om-Tante lainnya yang juga bergejala (namun belum test), seperti hilang penciuman sampai diare dan sesak nafas. Bahkan ada Tante yang sampai harus dirawat beberapa hari di RS.
Mendadak saya lemas. Semua orang yang berkabar tersebut, adalah keluarga inti saya yang sebelumnya kontak erat dengan saya dan suami. Tepatnya tanggal 20 Desember 2020, sekitar 9 hari yang lalunya.
Seharian itu saya mencoba untuk mengumpulkan sisa-sisa afirmasi positif. Apapun yang terjadi, life must go on.
Besok paginya, seperti patah hati yang disengaja, saya memutuskan ke RSIA terdekat dari rumah dan melakukan Swab. Hasilnya? Mudah ditebak : Positive. Sisa-sisa afirmasi positif itu masih ada, memenuhi kepala “Jangan nangis, jangan nangis, tenang, tenang. Kalau panik kalau nangis, nanti Baby-nya justru kenapa-napa”. Begitu terus yang saya lafalkan di kepala.
Suami yang saat itu lagi di Kantor, langsung saya kabari, dan bergegas pulang. Dengan semua fakta yang ada, dia juga sebetulnya sudah tidak ada harapan, untuk berandai-andai negatif. Jadi kami menyiapkan mental bahwa memang kami berdua positif. Sebelum esok paginya, dia berangkat ke RS Kemhan dan “menyerahkan diri”. Tadinya kami pikir hanya akan di Swab PCR, kemudian pulang. Nyatanya enggak. Suami mesti diisolasi saat itu juga untuk pemeriksaan organ dalam hingga PCR.
Awal Mula Masa Kritis
Saat itu 30 Desember 2020, waktu suami harus diisolasi di RS. Dan baru balik ke rumah 3 hari kemudian. Itu adalah awal mula mental kami down. Saya sendirian di rumah, dengan kondisi hamil, positif Covid, tanpa support system yang biasanya selalu ada di sebelah saya. Celah satu itu, yang membuat si Virus beraksi dengan ganasnya. Dari yang tadinya secara fisik tanpa gejala dan baik-baik saja, semuanya berubah total. Mulai dari mual, diare, batuk, menggigil, hingga akhirnya kehilangan indra penciuman; semuanya menyerang tanpa ampun, tanpa aba-aba. Begitu juga suami yang diisolasi di RS. Itu juga menjadi masa-masa terburuknya. Kondisi ruang isolasi RS, jauh dari istri dan rumah, membuat mental dan imunnya terjun bebas.
1 Januari 2021, akhirnya suami diperbolehkan pulang, setelah mengantongi hasil Positive PCR-nya dan menandatangani permintaan isolasi mandiri atas kemauan sendiri.
Isoman dan Gejala
Pasca kepulangan suami ke rumah, kami menjalani Isolasi Mandiri. Kami memang hanya tinggal berdua di rumah. Dengan kondisi yang sama-sama Positif, kami tidur di ruangan terpisah untuk menghindari kondisi saling memperburuk keadaan dengan pergerakan virus dari masing-masing tubuh kami.
Buat mempermudah perhitungan hari, saya hitung dari terkonfirmasi Positif dengan Swab. Jadi H+1 hitungannya mulai dari 30 Desember 2020 (1 hari pasca saya swab Positif).
- H+1 : Masih normal tanpa gejala. Hanya saja ada sendawa yang frekuensinya sangat sering.
- H+2 : Menggigil, Diare, Lemas.
- H+3 : Batuk ringan (tanpa dahak), Nafas Pendek, Hilang Penciuman.
- H+4 – H+7 : Semua gejala di atas bertambah buruk dengan nafas pendek yang makin lama makin menjadi sesak dan kesulitan bernafas. Juga batuk yang makin parah.
- H+8 : Penciuman mulai normal
- H+9 : Badan mulai enak, nafas perlahan mulai membaik
- H+11 : PCR Test, dan Negative.
Ya kalau dilist seperti di atas mungkin kedengarannya ringan ya? Hehe, tapi ngejalaninnya Masya Allah :’)
Di fase-fase kritis (H+4 sampai H+7) itu saya sudah out of control sebetulnya. Baru kali itu merasakan nafas yang sangat amat pendek, dada yang sesak, batuk yang sakit sampai ke ulu hati. Bahkan sholat-pun saya harus dengan duduk, saking nafas yang sangat pendek. Bayangin deh, gerakan sholat aja gabisa tahan nafas saat sujud yang hanya beberapa detik itu. Sebegitunya Covid memporakporandakan sistem pernafasan kita.
Kondisi hamil yang masuk ke 6 Bulan, membuat posisi serba salah. FYI, ibu hamil itu posisi tidur terbaiknya adalah menghadap kiri, untuk melancarkan aliran darah dan oksigen. Ngga boleh telentang, dan hadap kanan. Wah mana nafas lagi begitu, tulang semuanya jadi berasa sakit dan pegal.
What to Do
Dari pengalaman pribadi ini, ada beberapa hal yang kami lakukan. Dari hari pertama terkonfirmasi Positif hingga masa Pemulihan.

- Do some test. Kalau kamu udah ketahuan ada gejala, please do some test. Atau kalau kamu tau pernah berhubungan / kontak dengan yang positif, walaupun kamu tanpa gejala, please do some test. Jangan denial.
- Contact Tracing. Adalah hal pertama yang harus dilakukan ketika hasil PCR/Swab positive. Walaupun saat itu keadaan mental kamu buruk, berilah kabar singkat ke orang-orang yang pernah berhubungan dengan kita selama 2 Minggu ke belakang. Begitu juga dengan yang kami lakukan saat itu. Kami langsung kontak orang rumah, yang beberapa hari sebelumnya kami menginap di rumah orang tua. Kami kontak orang kantor juga. Semua yang kami kontak saat itu langsung melakukan Swab juga. Dan alhamdulillah, semuanya negatif – salah satu hal yang paling kami syukuri saat itu. Lega rasanya ketika kami bukan jadi carrier bagi siapapun.
- Makan Teratur & Konsumsi Vitamin. Urusan makan sehari 3x, kami banyak bergantung dari delivery makanan online. Thanks to Gofood dan Grabfood. Sementara itu, kondisi saya yang sedang hamil, menjadi kondisi sangat khusus di case ini. Saya tidak minum obat-obatan antivirus dan sebagainya. Yang saya konsumsi saat itu atas petunjuk dokter hanyalah melanjutkan vitamin hamil yang selama ini saya konsumsi. Itupun jumlahnya memang ga banyak. Hanya 2-3 kapsul dalam 1 hari. Kondisi orang normal dan bergejala, bisa diminta konsumsi 5-9 kapsul untuk 1x jam makan. Jadi dalam 1 hari, dikalikan 3. Kebayang ga tuh. Nah balik lagi sebagai pengganti obat-obatan, saya konsumsi banyak sekali buah untuk menambah asupan vitamin, antioksidan, hingga melegakan tenggorokan. Saya minum susu hamil, minum kelapa hijau, minum jahe hangat dicampur serai, madu, hingga jeruk nipis, untuk melegakan dada dan tenggorokan. Buah-buahan saya banyak konsumsi strowberry sebagai sumber antioksidan, alpukat untuk tambahan asam folat buat baby, juga jeruk, apel, anggur, pepaya, semangka, mentimun buat tambahan dosis vitamin.
- Olahraga Ringan & Berjemur. Ini rutin kami lakukan tiap pagi, jalan kaki dan berjemur kurang lebih 30-45 menit. Kebetulan kebiasaan ini memang sudah kami lakukan jauh-jauh hari untuk menjaga kesehatan kandungan juga.
- Kontrol Mandiri Saturasi Oksigen. Nah buat yang satu ini, mohon sedikit effort untuk beli Pulse Oximeter. Harganya engga mahal, ga lebih dari 100rb di ecommerce. Buat yang menjalani isolasi mandiri, alat ini penting sekali untuk mengetahui kadar saturasi oksigen kamu. Amannya di atas 95. Kalau kurang dari itu, apalagi di bawah 90, itu kondisi yang sangat tidak aman dan kamu wajib cari pertolongan ke RS. Kalau kondisi saya awal-awal banget itu masih super bagus nilainya 99. Beberapa hari kemudian kisarannya 95-96-97-98. Masih tergolong aman. Sebelum akhirnya pulih ke 99.
- Memaksimalkan mengeluarkan kotoran tubuh. Saya bingung jelasinnya seperti apa, tapi kalau saya pribadi, cukup keras ke diri sendiri saat itu. Saya berusaha maksimal keluarin kotoran virus-virus ini baik dari hidung hingga mulut. Saya rajin banget memaksa keluarin ingus, keluarin dahak. Saya rajin membersihkan hidung dengan cotton bat yang sudah diolesi kayu putih. Saya rajin memancing batuk sampai harus ada yang keluar semacam dahak dari mulut. Saya rajin buang air kecil dan besar, dengan memancing banyak-banyak minum air, dan makan buah-buahan berserat. Ngga tau teorinya benar atau tidak, afirmasi saya sih makin kotoran ini cepat dikeluarkan, makin cepat pemulihan.
- Istirahat yang Cukup. Kalau yang satu ini kayanya lebih dari cukup ya. Karena beberapa hari badan kami super lemas, jadi betul-betul yang kami lakukan adalah istirahat total.
- Positive Vibes. Hal terakhir dan salah satu terpenting adalah menjaga mental dengan afirmasi positif, lingkungan positif, dan hindari toxic things. Kami bersyukur bisa mendapat hal ini. Terutama dukungan dan doa dari orang tua, sampai saat ini saya yakini yang paling cepat mengetuk langit. Dukungan dari sahabat terdekat juga sangat berarti, kiriman buah-buahan, vitamin, susu, dan lainnya, lebih dari cukup buat kami. Pun kami membatasi sosial media, menghindari konsumsi berita negatif, hingga membatasi aktivitas/komunikasi terkait pekerjaan.
Rasanya itu dulu yang bisa saya share. Hasil negative PCR kemarin, menjadi satu tiket berharga yang paling kami tunggu-tunggu. Dengan tiket itu, hal pertama yang kami lakukan adalah menjenguk baby kami; memastikan ia dalam kondisi yang baik-baik saja. Alhamdulillah, dari hasil USG dan konsultasi dokter kemarin, -anak kami yang kuat ini- dalam keadaan terbaiknya. Insya Allah. Mohon doanya ya.
Last but not least, tidak ada hal yang bisa menggaransi kita semua terbebas sama sekali dari virus ini. Please do your best untuk betul-betul menghindari kerumunan, membatasi kegiatan di rumah, menggunakan masker, dan rajin mencuci tangan. Kami melakukan itu semua dari awal pandemi, tapi toh pada akhirnya kami terpapar. Rasanya tidak perlu berhitung, bagaimana ketatnya kami dengan prokes. Kami tidak mendatangi kondangan dari teman terdekat sekalipun, ga pernah nongkrong, tidak menggunakan transportasi umum, saya bahkan full WFH :”)
Cluster keluarga itu benar-benar ada. Kamu bisa kena kapanpun, bahkan ketika hanya di rumah saja.
Jaga kesehatan, jangan lelah ikhtiar, dan banyak-banyak berdoa.
Cheers!