Desa Petulu : Kearifan Tak Terjamah di Sudut Dewata

Bagi sebagian orang, mengenal Bali berarti bercengkerama dengan eksotika alam dan budayanya. Menjelajah pantai, atau sekedar menonton upacara ngaben yang terkenal itu. Ritual pembakaran mayat bagi umat Hindu ini memang selalu menarik perhatian wisatawan. Ada saja yang merekam setiap prosesinya. Kemudian hanya dengan sentuhan jari, video ini bisa dinikmati seisi bumi. Dalam hitungan sepersekian detik, rekaman itu berpilin, berputar, berubah menjadi data binari. Menderu menuju tower BTS, menuju satelit Palapa C-2, berputar dalam sistem pembagian wilayah yang rumit, bergabung dengan jutaan pesan, suara, streaming gambar, dan data lainnya dari berbagai sudut bumi. Kemudian di detik yang sama, rekaman itu dilontarkan kembali ke muka bumi. Voila! Jadilah dia santapan di berbagai sudut dunia.

Bali yang terkenal arif itu, perlahan pikuk. Tergerus keinginan banyak pemangku negara untuk terus mengeksplorasi sudut negeri. Ah, jaman ini, bukankah begitu sulit membedakan ekplorasi dan eksploitasi?

Desa Petulu, Ubud.
Mari lupakan sejenak perkara eksplorasi yang ambigu tadi. Karena nyatanya, di tengah ramai dan pikuknya Bali, tak banyak yang tahu tentang sebuah sudut di pulau ini. Sebuah desa, yang tak jauh dari keramaian kawasan wisata Ubud. 

Petulu, namanya. Desa ini menjadi rumah bagi  kawanan ribuan burung bangau, atau dalam nama lokalnya burung Kokokan.  

Kokokan merupakan satwa dalam ekosistem perairan, yang biasa ditemukan di danau, pantai, rawa, maupun hutan mangrove. Petulu adalah bagian kecil dari sebuah megaekosistem Pulau Bali, dimana ditempat ini dengan berbagai unsur yang ada di dalamnya menjadi ‘tempat pulang’ bagi burung migran yang daya jelajahnya cukup luas tersebut. Kokokan merupakan burung yang telah mengalami kelangkaan, beberapa spesies famili burung ini sudah termasuk ke dalam daftar satwa liar yang dilindungi Undang-undang Nomor 5 Tahun 1990, tertuang dalam PP No.7 tahun 1999.  

Ada bulan-bulan dimana kawanan burung ini melakukan pengembaraan, namun akan kembali ke Desa Petulu pada bulan-bulan berbiaknya, membuatkan sarang, bertelur, dan membersarkan anaknya hingga sanggup terbang.  Desa Petulu ini merupakan kawasan yang cukup padat penduduk. Luas wilayah Desa Petulu adalah 384 Ha dengan Penduduk yang bermukim sebanyak 4.352 jiwa (Profil Pembangunan Desa Petulu Tahun 2003). 

Kearifan Masyarakat Desa Petulu
Pertanyaan yang pasti mengudara : apa gerangan yang membuat ribuan Kokokan menyemai hidup di kawasan padat penduduk ini? Ternyata jawabannya sederhana. Arif. 


Populasi di burung Kokokan di desa Petulu yang kini telah mencapai angka ribuan telah ada sejak tahun 1965. Menyisakan bau amis dari kotoran burung, masyarakat Desa Petulu tidak menganggap hal itu sebagai sesuatu yang mengganggu. Bahkan ketika burung-burung Kokokan mulai masuk pekarangan rumah dan membuat sarang di atas pepohonan, masyarakat ikhlas merelakan sebagian tempat tinggalnya menjadi rumah bagi sang Bangau.  

Sebagai hasilnya populasi burung Kokokan ini terus meningkat, bahkan dalam hal keragaman penyusunnya. Kedatangan Kokokan di tahun 1965 yang pernah membuat geger ini, oleh para pemuka desa setelah dimohonkan petunjuk kepada Yang Maha Kuasa perlu dipelihara. Masyarakat sepakat untuk tidak mengganggu kehidupan Kokokan, bahkan dibuatkan bangunan suci tempat pemujaan dewa-dewi. Pemuka masyakat setempat bersama-sama masyarakat juga telah menghijaukan lahan pelaba pura dengan tanaman yang disukai satwa ini. Tak ayal, burung Kokokan telah menjadi bagian tak terpisahkan dalam kehidupan keseharian warga Petulu.

Eksotika Budaya
Sederhana memang. Di tengah majemuknya Bali dengan berbagai suntikan asing disana-sini, ada sekelompok masyarakat yang masih tegar dengan pendirian dan keyakinannya akan titah leluhur yang mereka yakini. Bukan lagi sebatas perkara agama yang sering dijadikan isu perpecahan, tapi kearifaan masyarakat Petulu adalah soal kesederhanaan dan keikhlasan. 

Jika di belahan Indonesia lain, masih ada kelompok yang terus sibuk bertikai dan menghardik antar golongan agama, maka masyarakat Petulu memang hanya melakukan hal sederhana ; menyayang makhluk Tuhan. Sebuah eksotika budaya, yang berdiri tegak diantara hantaman dan kerasnya pergumulan jaman. (rsh)

Ratna Sofia Harriyati
The 2nd Winner National Essay Competition.

2 Comments Add yours

  1. Unknown's avatar nama says:

    oh jadi ini yang juara ituuu… hahaa

    Like

  2. Unknown's avatar Ratna Sofia says:

    Dih, noname –” Kalau ga willy, ya eril -.-

    Like

Leave a comment