“Mba, menurut lo, Mik akan ingat waktu yang dia habiskan saat dia masih kecil begini? Di tempat-tempat yang lo ajak dan spend time?”
Pertanyaan itu datang dari seorang teman, di sela seruput kopi dan bunyi sendok yang saling beradu saat breakfast kami. Pertanyaan yang sederhana, tapi entah kenapa menetap lebih lama di kepala saya.
Saya tidak seratus persen yakin Mik akan mengingat detail perjalanan ini ketika ia dewasa nanti. Nama kota, rute kereta, atau pemandangan yang kami lihat. Tapi satu hal yang saya yakini: being present together jauh lebih berarti daripada ingatan itu sendiri. Mungkin, yang sedang benar-benar mengoleksi memori adalah kami, orang tuanya. Mengabadikan fase ketika anak kami masih seratus persen bergantung pada Ibu dan Bapaknya. Fase di mana waktu terasa begitu berharga, dan kebersamaan adalah tujuan utamanya.
Kami ingin menghabiskan sebanyak mungkin waktu bersama Mik. Bukan hanya untuk berjalan-jalan, tapi untuk memupuk perasaannya. Dari banyaknya perjalanan kecil maupun besar, saya percaya sedikit banyak membentuk Mik hari ini: cara dia berpikir, mengolah emosi, cara Mik menghargai makanan, beradaptasi dengan lingkungan baru, menghadapi udara yang berbeda, ritme yang asing, dan bahasa yang sama sekali tidak ia pahami.
Liburan kami ke Jepang kali ini benar-benar kami jalani bertiga. Tanpa rombongan. Tanpa tour. Tanpa jadwal yang tergesa. Kami membiarkan hari berjalan dengan ritmenya sendiri.
Dan seperti biasa, hati saya terasa mudah tertinggal di Jepang. Hahaha. Kota ini memang punya cara sendiri untuk membuat siapa pun jatuh cinta. Di musim apa pun, kecuali musim panas mungkin, ya. Wkwk.
Hari pertama kami mendarat di Tokyo, alhamdulillah banget cuacanya super cerah. Langit biru bersih dengan sedikit awan putih, Mik langsung terlonjak girang karena ini persis seperti gambar-gambar di lukisan yang suka ia warnai. Dari Haneda Airport, kami langsung naik kereta menuju Asakusa, tempat hotel kami berada. Dengan dua koper besar dan satu stroller, kami berpindah kereta, berjalan kaki cukup jauh, dan mengandalkan Google Maps sepenuhnya.
Hotel kami di Tokyo adalah The B Asakusa. Sederhana, nyaman, dan lokasinya strategis. Total kami menginap enam hari lima malam di sini, dua malam di awal, dan tiga malam terakhir sebelum pulang. Setelah menitipkan koper karena belum waktunya check-in, kami langsung berjalan kaki mengitari Asakusa. Makan siang ramen halal, lalu melanjutkan langkah ke Sungai Sumida. Di sepanjang sungai, taman-taman dipenuhi daun gugur berwarna kuning dan merah khas autumn.
Mik berlari ke sana kemari, menuruni anak tangga dengan riang, melambaikan tangan ke kamera. Kami duduk lama di kursi kayu di tepian sungai, memandangi cruise yang berlalu dan Tokyo Skytree yang berdiri megah di kejauhan. Hati kami penuh. Baru juga hari pertama 🙂





Kami mengambil banyak foto disini, sayangnya ga bawa tripod. Jadi kami berfoto bergantian haha.
Malam harinya saya habiskan di Asakusa, keliling cari Stroberi dan makan malam.
Hari kedua kami putuskan ke Ginza dengan tujuan utama : Hibiya Park. Sangat gampang aksesnya, cukup satu kali turun kereta dari stasiun sebelah hotel kami. Hibiya Park saat itu, benar-benar terasa seperti milik lokal seutuhnya. Tanpa banyak tourist, hanya ramai warga setempat. Hibiya Park menyuguhkan suasana autumn yang sesungguhnya. Daun-daun merah dan tone kuning yang seluruhnya berguguran. Akh, terasa hidup dan ramah anak. Mik berlarian, mencoba berbagai aktivitas kecil, dan main bersama warga lokal. Dia gelantungan, main ayunan, manjat berbagai perosotan, mengumpulkan daun, dan penuh dengan gelak tawa. Saya sesekali potret Mik dengan kamera. Senyumnya utuh, tidak dibuat-buat. Hahaha.









Setelah berjam-jam di Hibiya Park, dari sana kami berjalan menyusuri Ginza. Cuci mata di butik-butik, mampir ke Blue Bottle Coffee langganan kami, dan menikmati Tokyo dengan cara yang sangat sederhana: berjalan.
Hari ketiga, waktunya kami menuju Fuji.
Pagi-pagi kami berangkat ke Shinjuku dan naik bus limousine tingkat menuju Stasiun Fuji. Terminal bus yang terhubung dengan mall membuat waktu tunggu terasa singkat, lagi-lagi kami isi dengan berjalan dan ngopi. Nama mall-nya Newoman! Keren deh, dan super asik.
Kami memesan tiga kursi di bus. Mik punya kursinya sendiri, meski sebenarnya bisa dipangku gratis untuk anak <6 tahun. Sepanjang perjalanan Mik super happy. Dan tentu saja tidur setelah 15 menit di Bus. Baru bangun lagi ketika sudah sampai Fuji. Dari Stasiun Fuji, kami melanjutkan perjalanan dengan shuttle bus menuju Toyoko Inn Kawaguchiko. Kami menginap tiga hari dua malam di sana.
Fuji mengajarkan kami untuk melambat. Hotel yang sederhana, udara yang dingin, dan Gunung Fuji yang setiap pagi menyapa dari jendela kamar. Berdiri besar, tenang, dan tidak tergesa. Hari-hari kami di Kawaguchiko diisi dengan berjalan pelan di sekitar danau, duduk lama tanpa agenda, dan berhenti berkali-kali hanya untuk menatap Fuji. Mik bermain kerikil, berlari kecil, lalu kembali ke pelukan. Tidak banyak rencana, tapi rasanya utuh.
Malam datang lebih cepat di Fuji. Di hari pertama saja, ternyata jam setengah 5 sore sudah amat gelap. Kami sudah terlanjur keluar untuk santai sore sejak jam 4, tapi baru berjalan sedikit, langit tiba-tiba redup. Tapi gunung Fuji, malah nampak makin gagah dengan butiran salju menutupi bagian atas hingga tengahnya. Saya sempat mengabadikan perjalanan ini. Karena hari sudah gelap dan Kawaguchiko sangat sunyi, kami berbekal Google tetap persisten jalan kaki ingin mengunjungi Masjid Kawaguchiko tepi danau, sekaligus ingin beli makan malam. Jadilah kami sesekali menggunakan senter untuk menerangi jalanan. Udaranya dingin, tapi kenangannya hangat.
Kami makan malam sederhana dan tidur lebih awal. Sunyi. Tanpa hiruk-pikuk kota. Hanya udara dingin dan rasa cukup.








Pagi kedua di Fuji adalah favorit saya. Kami bangun lebih awal, sarapan, lalu berjalan beriringan mengitari jalanan Kawaguchiko yang sengang. Kami duduk lama di taman tepi Danau, bermain daun gugur sambil mengunyah snack yang kami bawa. Berfoto-foto dengan Tripod, dan Mik seperti biasa lari riang gembira. Dia mengikuti semua arahan foto kami wkwk.
Tapi lebih dari apapun, Fuji jauh lebih cantik yang kita nikmati dengan pancara indera sendiri. Tidak ada kamera yang bisa menggambarkan dengan utuh betapa Fuji begitu cantik dan hangat. Kami tahu, banyak sekali momen yang tidak perlu disimpan di kamera. Cukup kami menyimpannya dalam hati dan kepala. Sampai, semoga suatu hari nanti kami bisa kembali lagi, lebih lama.
Kembali ke Tokyo, sisa hari kami jalani dengan ritme yang lebih ringan. Mengulang tempat yang terasa familiar, berjalan tanpa tujuan, dan menikmati kebersamaan sampai waktu pulang tiba. Liburan ini, pada akhirnya, bukan tentang Jepang. Bukan tentang Tokyo. Bukan juga tentang Fuji.
Ini tentang waktu. Tentang fase yang tidak akan terulang. Tentang kehadiran yang kami pilih dengan sadar.
Mungkin Mik tidak akan mengingat semua detailnya. Tapi saya percaya, tubuh dan perasaannya menyimpan semuanya.
Dan mungkin, justru kami, orang tuanya, yang sedang mengoleksi kenangan. Satu per satu. Dengan penuh.

Ditulis waktu lagi belum move on.
Serpong Terrace, 21 Dec 2025.