Bangkok sebetulnya adalah destinasi bonus.
Tujuan utama kami adalah Phuket. Awalnya, dengar nama Phuket aja saya udah ngeri duluan. Ngeri soal budget, ngeri gimana disananya, ngeri juga soal teman perjalanan. Maklum, saya lumayan asing dengar pulau ini disinggahi sama teman-teman saya yang hobi keluar negeri.
Setelah searching sedikit, nama Phuket secepat kilat jadi destinasi impian di awal 2016 kemarin. Tanggal 1 Januari, saya menetapkan hati buat menulis Phuket di daftar destinasi 2016. Tanggal 5 Januari, saya udah dapat dua teman yang memastikan diri mau ikut. Enggan berwacana, kita buat grup whatsapp, dan langsung punya tiket di tangan. Tiga lembar tiket yang bertuliskan : keberangkatan 28 Januari, kepulangan 1 Februari 2016.
Minim waktu pesiapan, tapi maksimal kami manfaatkan. Nah sebelum menunggu tanggal keberangkatan, saya akan berbaik hati share budget persiapan untuk perjalanan ini, yang sudah kami lengkapi semuanya di kurun waktu 1 minggu sebelum berangkat :
- Flight Jakarta – Bangkok : 747.800 (Thai Lion Air) 08.20/13.35
- Flight Bangkok – Phuket : 430.600 (Nok Air) 17.35/18.50
- Flight Phuket – Jakarta : 890.000 (Tiger Air) 10.40/08.10
- Hostel Vimarn – Bangkok : 163.000
- Hotel Sunshine Patong – Phuket : (475.000/3) = 159.000
- Hotel The Yim Siam – Phuket : (435.000/3) = 145.000
- Hostel Kiwi Backapcker – Singapore : 175.000
- Tour : One Day Trip PhiPhi Island Phuket : 600.000
Total tiket pesawat, hotel, trip : Rp. 3.310.400
Soal jajan, kuliner dan akomodasi mah tergatung lifestyle ya. Hahahaha. Kalau saya pribadi sih, pas 5juta deh totalnya. Sudah termasuk rincian biaya di atas, plus makan, transport, dan oleh-oleh.
—
28 Februari 2016.
Sekitar pukul 06.40, saya, Afi, dan Desta, sudah berkumpul dengan anteng di Bandara Soekarno Hatta. Iya pesawat kami keberangkat jam 8.20 pagi. Karena niat awal adalah ala-ala backpacker, maka mesti punya jatah bagasi, kami tak mengambilnya. Hanya menggendong satu tas ransel dan 1 tas jinjing. Berangkatnya sih gitu, gak tau aja pulangnya lebih heboh dari ibu-ibu Tanah Abang hahaha.
Setelah lolos imigrasi clearance, kita bertiga tergopoh menuju boarding room yang ternyata kepagian. Baru buka 15 menit lagi katanya. Tanpa komando, kami urung masuk kesitu dan balik kanan cari tempat duduk di luar. Begitu akan duduk, si Afi tiba-tiba panik.
“EH. Tas gue mana?”
“Yang mana fi?”
“Itu yang kecil, isinya dompet, handphone sama paspor”.
“Aduh ceroboh ba—Eh bentar, HP gue mana?!!”, – saya ikutan panik.
Jadilah saya sama Afi panik berjamaah. Desta kita suruh jaga barang dulu. Sementara itu kami berdua lari-lari kecil nyamperin mas-mas penjaga pintu scanning barang.
“Mas, mas, ada tas dan handphone ketinggalan gak?”. Pertanyaan yang cuma dijawab dengan senyum sambil nunjuk ke kotak warna biru tempat tas dan handphone kami berada.
Itu masih di Jakarta, guys. Drama udah dimulai aja. Kebayang kan 5 hari berikutnya? Hahahaha. Selebihnya, drama-drama lain ga akan dikupas disini demi menjaga nama baik kami bertiga :)))
Maskapai yang kami gunakan adalah Lion Air waktu itu. Transit sejam-dua jam di Singapore, kami sempatkan keliling Bandara dan foto-foto. Ga salah, Bandara ini dinobatkan sebagai bandara terbaik dunia. Semuanya serba steril, canggih, dan nyaman. Tidak lama, kami melanjutkan penerbangan dengan Thai Lion Air. Penerbangannya sangat mulus! Mulai dari take off sampai landed-nya, mulus abis. Pelayanan dan interiornya juga sebelas dua belas dengan Garuda Indonesia.
—
Mendarat di bandara Don Mueang Bangkok, kami langsung menuju keluar untuk mencari bis menuju penginapan. Belum juga keluar, eh kami melipir ke sebuah toko di Bandara dengan plang besar yang kurang lebih artinya : “Jual Sim Card Happy Tourism, Internetan Sepuasnya”. Harga satu simcardnya ratusan ribu, saya lupa berapa tepatnya. Tapi dasar backpacker gadungan, kami bertiga, tanpa tedeng aling-aling, semuanya beli itu simcard. Padahal, kita sama-sama sadar di Thailand cuma 3 hari, dan hotel ada wifi semua. Padahal, kalaupun mau beli, satu juga cukup, yang lain tinggal tethering. Padahal, kita juga sama-sama tau, kalau beli simcard di 7-Eleven yang tersebar di negara ini, harganya bisa sepertiga dari harga bandara dengan kuota yang lebih dari cukup. Yhaaaaaaaa.

—
Selanjutnya, perjalanan kami dari Bandara ke penginapan, cukup dengan naik bus Damri A2, turun di Mochit, sambung BTS menuju Halte BTS Phaya Thai.


Dari Phaya Thai, tinggal jalan kaki ke penginapan kami, Vimarn Hostel. Soal transportasi begini, kami serahkan sepenuhnya ke Desta. Doi udah macam jelang ujian, sebelum berangkat sudah pelajari penuh isi bukunya dan menghafal nama-nama BTS disini. Dia tau harus naik apa, turun dimana, sampai bayar berapa. Hahaha, terimakasih ibu!
Nah, ini Vimarn Hostel! Lebih dari yang kita bayangkan! Tempatnya super asik. Minimalis, keren, dan kekinian. Mulai dari pelayanan staff-nya, cemilannya, kamarnya, sampai urusan toilet, saya kasih review 5/5 untuk hostel ini di Trip Advisor dan Traveloka.

Setelah check in, taruh barang, dan sholat jama Dzuhur + Ashar, kami langsung bergegas menyusuri kota Bangkok! Karena lokasinya strategis, semuanya cukup ditempuh dengan berjalan kaki. Semuanya tersinggahi, seperti pusat belanja Platinum, Siam, dll.

Ini adalah Platinum tampak luar. Tampak dalamnya, mirip ITC. Jadi ga usah dilampirin fotonya ya.
Nah di Platinum ini, ibaratnya surga belanja. Semacam ITC kalau di Jakarta. Makan pertama kami di foodcourt disini. Ga sulit buat cari makanan halal, karena mereka sudah besar-besar melabeli tokonya yang menyediakan menu halal dengan ibu-ibu berkerudung.
Kalau kamu mampir kesini, jangan sia-siakan kesempatan buat buang-buang receh disini ya! Karena tempat lain belum tentu bisa semurah dan selengkap disini.
Setelah lumayan puas belanja, jajan, dan jalan, kami bergegas kembali mencari BTS terdekat dan melanjutkan perjalanan malam ke…. Asiatique! Katanya sih, ini objek kunjungan wajib buat para pelancong disini. Menuju Asiatique, kami naik boat atau kapal yang lumayan gede, tapi rame banget, sesak oleh turis. Naiknya gratis! Turunnya juga gratis.

Rame kan?
Kalau kata saya sih, menyederhanakan Asiatique ya semacam tempat nongkrong, ada satu dua permainan ala dufan, tempat jajan, dan tempat belanja oleh-oleh. Semacam pasar malam versi mevvah.

Di Asiatique, kami jalan sampai kaki ga berasa kaki. Belanja sampai terlihat lebih rempong dari ibu-ibu Tanah Abang. Yang paling penting, disini saya bisa bisa menikmati setiap sudutnya, setiap dentuman musik tradisional, setiap keahlian pembeli dalam menawar barang, setiap bahasa yang terdengar berbeda, dan untuk malam yang saat itu cerah benderang karena ‘matahari’ buatan. 🙂
Pulang-pulang, kami menyempatkan diri mampir ke 7-Eleven sebelah hostel, buat beli cemil-cemilan dikit. Saya? Ya jajan ini dong :

—
29 JANUARI 2016
Pagi-pagi, saya, Desta, dan Afi, udah packing lagi. Jadwal kami hari ini : check out hostel sambil titip tas, pergi ke kuil, balik lagi ke hostel mengambil tas, dan terbang ke Phuket. Semacam padat berisi. Sebelum cabut, kita sarapan dulu di sini. Adanya susu, roti, gandum, dan snack. Saya? Beli nasi aja deh di 7-Eleven sebelah. :’)

Perjalanan dimulai dengan naik BTS Phaya Thai, bayarnya 42 baht 1 orang. BTS mengantarkan kami kembali ke sungai Chao Phraya, tempat kemarin nyeberang ke Asiatique. Naik boat lagi, 80 baht PP, menuju Wat Arun. Cerita dan legenda tentang tempat ini, di googling aja ya kak. Ratnanya udah ngantuk.
Salah satu spot di Wat Arun


Setelah Wat Arun, lanjut Wat Pho. Kuil Budha tidur.

Lanjut yang terakhir, adalah Grand Palace.
Demi Allah, panasnya masya Allah. Entah udah berapa belas kilo total perjalanan kaki kita di 24 jam terakhir. Puncaknya yang abis dari Grand Palace, ga kuat panas dan jalan, kita pilih tuktuk. Sebetulnya, karena perkara dikejar waktu banget. Hampir pasrah ketinggalan pesawat.

Ajaibnya, meski watir ketinggalan pesawat, turun dari Tuktuk bukannya kita bergegas nyeberang ke halte BTS, malah ngadem dulu, beli jajanan di pinggiran kawasan Wat Arun. Tapi asli, enak banget! Coconut Thailand yang terkenal itu, ternyata memang seenak itu.
Jadi gini rasanya minum kelapa muda Thailand di Thailand..
—
Sesampainya di Hostel, kami tergesa-gesa macam orang ketinggalan kereta. Dan nasib buruk melanda Afi kembali. Setelah malamnya sempat menghilangkan kunci kamar, tapi akhirnya ditemukan sama mba-mba penjaga, hari pas check out Afi mengulangi hal yang sama. Kunci kamar punya Afi hilang. Mba penjaga dengan baik hati membongkar kamar kami untuk cari kuncinya, tapi nihil. Desta dan Afi juga bongkar-bongkar tas sendiri, dan gak ketemu apa-apa. Saya juga berusaha nyari, tapi tetap gak ada.
Pasrah, si Afi bayar denda. Merelakan uang deposit-nya hangus di hostel itu. Semangat Fi, masih hari kedua!
Gak mau buang waktu, kita melupakan masalah si kunci hilang dan uang deposit hangus itu. Kita langsung meluncur naik BTS lagi menuju Bandara. Muka kita bertiga udah kusut. Kena panas, kaki pegel, deposit hangus (Afi), di BTS gak dapat duduk pula.
Di tengah-tengah kebengongan kami waktu berdiri di BTS, Afi tiba-tiba panik lagi.
“EH. Tas oleh-oleh gue dimana ya?” – Jengjeng.
Sadar Afi kehilangan tas, dan menyadari bahwa tasnya ketinggalan di hostel, dan menerima kenyataan bahwa belanjaan Afi adalah yang TERHEBOH dan TERBANYAK, respon pertama saya sama Desta adalah : ngakak.
Begitulah teman. Yang sabar ya. Setelah tertawa, kami memberikan pukpuk yang tulus ke Afi, sambil membesarkan hatinya untuk merelakan saja uang ratusan ribu dan hasil peluh berbelanja ini itu kemarin. Anggap aja sodakoh sama mba-mba penjaga hostel yang baik.
Setelah ngumpat dan kesel sendiri, si Afi mengakhirinya dengan : “POKOKNYA DI PHUKET GUE AKAN BELANJA LEBIH BANYAK LAGI. LEBIH MAHAL LAGI. BODO AMAT.”
Iyhaa fi, iyhaaa. HAHAHAHAHAHA.
—
Bersambung ke posting Moslem Backpacker : Phuket & Singapore
4 Comments Add yours