Episode Tanjung Puting : 3 Hari Memeluk Semesta

Kalau ada satu tempat yang selalu saya impikan, maka tempat itu adalah Borneo.

Like, I’ve been dreaming of these place for years.

Akhir tahun lalu, di bulan Desember, saya berkesempatan untuk pertama kalinya ke Kalimantan. Tepatnya Tanjung Puting. Saya ikutan Open Trip 3H/2M dari beborneotour. Agak drama di awal, karena tiket Jakarta – Pangkalan Bun yang sudah saya beli jauh-jauh hari, terpaksa harus saya batalkan karena tugas dadakan ke luar kota. Untungnya tugasnya ke Surabaya. Jadi bisa langsung berangkat dari sana dengan direct flight.

Opentrip-nya membahagiakan. Gadget Free, tiga hari tanpa signal dan hiruk pikuk ibukota. Perjalanan dan orangnya melampaui ekspektasi. Anggota opentrip kami 19 orang. Kata Mas Iman -tour guide kami-, ini anggota terbanyak yang 95%-nya adalah WNI. Biasanya bule semua. Maklum, orang kita jarang yang tertarik dengan wisata ‘genre’ ini. :))

Pelabuhan Kumai

Hari Pertama, begitu mendarat di Bandara Pangkalan Bun, setelah tunggu-tungguan anggota kloter dan taksi, kami bertolak ke Pelabuhan Kumai. Wilayah Kumai ini sebetulnya adalah sebuah pemukiman penduduk, lengkap dengan pasar, transportasi darat, dan tentu saja ada Pelabuhan. Sebelum naik ke kapal, layaknya ‘tourist’ kami jeprat-jepret dulu. Siapa juga yang mau melewatkan view yang epic! Sayangnya, setelah itu drama lagi. Kami harus menunggu kloter satu lagi yang kena delay berjam-jam. Sementara perut sudah teriak-teriak lapar, dan mati gaya saking sudah kehabisan ide mau ngapain lagi di atas kapal tak bergerak, yang bersandar di pelabuhan Kumai.

Setelah penantian panjang, akhirnya sekitar jam 3 sore, anggota geng lengkap juga. Kapal kami lantas beriring-iringan menembus sungai, meninggalkan Pelabuhan Kumai perlahan-lahan.

DSC06018

Tapi, belum 5 menit perjalanan, hujan lebat tanpa ampun menerjang si kapal. Bulir airnya besar-besar. Bunyi hujan yang bersahutan dengan mesin kapal menjadi irama. Bau tanah hutan menjadi aroma. Perpaduan keduanya, seolah memberi salam hangat kepada kami. Selamat datang di Borneo; Rumah Khatulistiwa dengan kelembaban tertinggi di dunia.

Kapal Klotok

0DSC02813

Buat kami, Kapal Klotok is lyfe! Segala kegiatan selama 3 hari 2 malam dilakukan di atas kapal! Mulai dari makan, mandi, tidur, ngobrol, baca buku, jeprat-jepret, lempar-lemparan tawa, ngarang lagu, haha-hihi, sampai dengerin dongeng.

Eh tapi kenapa coba disebut Kapal Klotok? Konon, karena kapalnya berbunyi “tok-tok-tok”, jadi warga sekitar memberi nama kapal klotok. Kapal Klotok umumnya memuat 8 sampai 12 penumpang. Jadi kami yang berjumlah 19 orang ini dibagi ke 2 kapal -untuk tidurnya. Tapi kalau siang hari, kami disatuin sampai tumpeh-tumpeh di satu kapal. Hahaha. Kebayang gak gimana ramainya?

Saya inget banget, ritual kami, si kapal paling rame ini adalah melambai-lambaikan tangan, berdadah-dadah ria dengan heboh, ke setiap rombongan lain yang lewat, berpapasan, atau yang sedang kami salip. Ga jarang, kami mengirimkan lagu khusus buat rombongan random, mulai dari pasangan yang lagi honeymoon, keluarga turis asing, pokoknya siapapun yang berpapasan dengan klotok kami. Yes, lagunya karangan Tante Ety yang dibuat super spontan. GEMES.

Laju klotok tidak terlalu kencang, meski tidak juga tergolong lambat. Sehingga kami bisa menikmati suasana Sungai Sekonyer di sepanjang jalan. Di atas kapal ini pula, kami bisa menikmati sunset, kabut, kunang-kunang, primata yang bergelantungan di sepanjang pohon, sampai hewan liar yang seringkali terlihat di pinggiran sungai. Klotok juga bisa dibilang ajaib. Jika pagi hingga sore dia jadi “rumah makan” dan ruang santai, maka malam harinya dia berubah jadi kamar hotel berkelambu. Ga kalah romantis sama pasangan yang lagi honeymoon ke Bali. Kelambu ini fungsinya (selain buat romantis-romantisan) adalah sebagai pelindung dari nyamuk. Bok, tidurnya di pinggir sungai tengah hutan! Tapi aseliiik, tidur di tengah hutan begini adalah kenangan yang manis banget.

Camp Orangutan

Kegiatan utama dari trip ini, tentu tidak lain dan tidak bukan adalah bertemu dengan orang utan di habitat aslinya. Dan feeding orang utan, adalah cara untuk berada di jarak terdekat dengan mereka. Eits, tapi jangan bayangin feeding orang utan ini adalah kita ngasih makan langsung ke mereka ya. Itu dilarang. Hanya rangers yang dapat melakukan kegiatan ini.

Ada 3 camp yang kami kunjungi, yaitu Camp Tanjung Harapan, Pondok Tanggui, dan Camp Leakey. Di tiap camp, terdapat ‘rumah makan’ orang utan yang terbuat dari kayu panggung. Saat jam makan tiba, rangers akan memanggil orang utan dengan suara khasnya “uuuwww..”, “uuuwww..”. Maka satu persatu orang utan akan mendekati panggung, duduk manis, dan khusyu memulai ritual makan-nya.

0DSC06234
Rangers sesaat sebelum feeding

Camp-camp yang kami kunjungi ini adalah ‘sekolah alami’ buat orang utan. Salah satu tempat menarik di Tanjung Puting adalah Camp Leakey, tempat pelestarian orangutan. Camp ini merupakan yang terbesar dan dibangun pada tahun 1971. Camp menjadi lokasi berlindung orangutan yang diselamatkan dari perburuan liar. Di Camp Leakey kita juga dapat mengunjungi Pusat Informasi, semua tentang orangutan beserta kisah dan dokumentasinya ada disini.

Melalui camp-camp ini, mereka dididik, dibiasakan, untuk nantinya bisa hidup secara mandiri. Instingnya dilatih sedemikian mungkin. Kalau sudah mandiri, bisa bertahan hidup sendiri, mereka biasanya juga akan meninggalkan wilayah camp dan hidup liar di alam bebas. Itupun, prosesnya akan diawasi oleh rangers. Jadi kalau ada tanda-tanda orang utan mulai bisa hidup liar, si ranger akan mengintipi seharian kegiatan orang utan ini. Kemana dia pulang, bagaimana mereka mencari makan, caranya bertahan, dan lain-lain. Semuanya adalah untuk memastikan bahwa mereka betul-betul siap. Para rangers, meleburkan seluruh hatinya bersama primata dan hutan. Sebuah ketulusan yang nyata, buibu.

0DSC06055
Mas Iman.

“Lepaskan saya di hutan mana saja. Di seluruh dunia. Saya akan tetap bisa bertemu jalan pulang..”, ujar Mas Iman, seorang yang menempatkan hutan sebagai rumah keduanya.

Pergerakan daun, arah mata angin, bebauan hutan, menjadi kompas alami bagi mereka. Dan gue selalu percaya, setiap seseorang mempunyai sebuah ‘rumah’, maka dia pada akhirnya akan menemui jalan pulang.

Tom, Legenda Hidup yang Hilang

Adalah Tom, primata nomor satu di Tanjung Puting. Dialah nama yang paling tersohor diantara semuanya. Mulai dari digendongnya dia oleh Julia Roberts, sampai kisah kuasa Tom sang Raja Orangutan.

King Tom
Pict source : anonymous by Pinterest

Tom menjadi ‘Raja’ bukan karena pilihan manusia. ‘Gelar’ ini didapatnya karena berhasil mengalahkan orangutan jantan lainnya dalam berbagai pertarungan. Dengan gelar ini, dia mendapat beberapa keistimewaan antara lain bebas mengawini orangutan betina di wilayah itu. Dia juga memiliki semacam wilayah kekuasaan sehingga dia akan disegani orangutan lainnya. Sebelum tahta menjadi miliknya, Tom merebut kudeta dari penguasa sebelumnya, yaitu Raja Win dan Raja Kusasi. Kusasi yang telah berkuasa cukup lama, saat itu kalah berduel dengan Win di usianya yang sudah tua. Ia lantas menyingkir jauh ke dalam hutan dan tak pernah kembali ke Camp Leakey. Namun kekuasaan Win tak berumur panjang, ia kalah saat berduel dengan orang utan yang lebih kuat bernama Tom.

TOM
King TOM. [Pict : Owen Huw Morgan by Pinterest]

Namun, Tom, Sang Raja, hanya kami temui harum nama dan legendanya. Saat tulisan ini dibuat, berarti sudah sekitar 10 bulan sejak hilangnya Tom dari Camp Leakey dan Tanjung Puting. Tak pernah seorangpun melihatnya lagi. Dari kisah Mas Iman, Tom kalah bertarung dengan orangutan liar. Dan sejak saat itu tidak pernah lagi menampakkan diri di Camp Leakey. Tak sedikit yang menyangsikan Tom masih hidup akibat kekalahan tersebut. Tapi menurut Mas Iman, selama dia tidak menemukan jasad Tom, maka Tom diyakini masih hidup. Ia hanya kalah; lantas berlari meninggalkan kekuasaannya. Sama seperti yang dilakukan Kusasi dulu.

Lantas siapa kini Raja Orangutan di Camp Leakey? Namanya Carlos. Pejantan dominan yang sempat kami temui. Tubuhnya tinggi besar. Gurat dan garis wajahnya menampakkan kekuatan. Carlos pernah berduel dengan Tom, namun kekalahan ada di pihak Carlos. Ia tak cukup kuat melawan Tom, Sang Raja. Namun sejak kepergian Tom, tahta tersebut beralih ke Carlos.

Ya. Carlos meraih tahta, tanpa pertarungan.

Teman Perjalanan

0DSC06143

Seumur hidup, saya ga akan lupa bagaimana kabut memeluk pagi kami disana. Juga ingatan tentang malam hari berkelambu, dongeng-dongeng dari Mas Iman, backsound jangkrik dan primata di malam hari, hingga semua cerita yang pernah saling kami bagi.

Saya juga ga akan lupa, untuk makanan 5x sehari dengan sajian yang -baunya saja- sudah bikin ngiler. Pun, untuk 3 hari tanpa polusi gadget dan sosial media.

Memeluk Semesta, adalah kata yang paling bisa menggambarkan 3 hari yang berkesan waktu itu. Menghirup udara sebersih disini, di hutan yang kelembabannya mencapai 100%. Di satu dari dua paru-paru dunia tersisa. Penghasil oksigen terbesar, bersama Amazon yg luasnya sepertiga benua Amerika Selatan.

Dan terakhir, saya juga ga lupa dengan berbagai kepala yang menemani perjalanan ini. Mas Iman, Kak Fita, Kak Elfira, Tania, Cemin, Mba Evie, Rakyan, Kak Anggi, Bu Ida, Trio Tante, Ka Sanita, Mba Rini,  Mas Rio, Kak Bule dan pacar. Meminjam jargonnya Ariel, Kalian semua luar biyasaaa~~

Ga bohong, ku diam-diam kagum sama mereka semua. Literally, lintas generasi, lintas profesi, lintas background. Satu-satu nama yang ada di atas itu, masing-masing punya film tersendiri di kepala saya. Hahaha. Sekali lagi, terimakasih! Untuk sharing dan pengalamannya.

Sampai jumpa lagi, para panutanque!

0DSC03042
Foto ini kurang lengkap. Tapi semoga cukup mewakili.

2 April 2018.
Dibuat saat menunggu boarding.
Bandara Ngurah Rai, Bali.

Leave a comment