Anak Kompetisi atau Industri?

Ngomongin Indonesian Idol 2018 yang lagi tayang, netizen sudah pasti punya jagoannya masing-masing. Kalau saya sendiri, menjagokan Maria, Abdul, Marion buat di 3 besar. Tapi favorit saya adalah… Ghea! Hahahahaha. Siapapun yang menang di antara 3 jagoan yang tadi saya sebut itu, yang mau saya beli albumnya ya Ghea.

Anomali, gak?

Enggak. Si 3 besar jagoan tadi, ditambah Joan dan Ayu, adalah peserta dengan skill dan teknik nyanyi luar biasa, yang berhak memenangkan kompetisi. Sementara, kalau soal saya mau beli albumnya Ghea, ya itu karena murni selera saya. Sependengaran saya, Ghea ini jagonya ngenakin lagu. Lagu-lagu yang dicover sama doi, keputer terus nih di kepala. Mulai dari Issues-nya Julia Michaels, Akad-nya Payung Teduh, atau Kangen-nya Dewa.

Sementara itu, di luar sana juga ada Vidi Aldiano, Afgan, Teza, Sammy Simorangkir, ex-peserta Indonesian Idol yang bahkan gak lolos sampai Spekta. Namun, kemudian, setelah itu, lalu, (hahaha!) mereka berjaya sekali di industri.

BAIQ.
#NgomonginIndonesianIdol tadi adalah intro. Yang mau saya tulis sebetulnya adalah tentang Kompetisi dan Industri di dunia nyata-nya saya :’)

Jadi beberapa kali terakhir, saya mampir ke kampus-kampus buat meramaikan seminar tentang Digital Entrepreneurship. Kebetulan, kebagian sharing soal How to Land Your 1st Job, update dunia startup, dan sedikit fintech. Saya pribadi, karena ga punya pengalaman sebanyak pembicara lain yang udah senior, jadi lebih banyak cerita-cerita santai soal persiapan menghadapi dunia yang sesungguhnya pasca kampus.

“Saya kangen deh seusia kalian. Dimana masalah terbesar di hidup saya hanyalah ujian Kalkulus”, kata saya yang disambut tawa se-auditorium. Garing tapi mayan buat mencairkan suasana.

Dari apa yang saya jalani, dan saya dapati sampai sekarang, saya sadar saya bukan anak kompetisi. Ibaratnya kalau ikutan olimpiade pinter-pinteran nih, gede-gedean IPK, saya bukan orang yang keluar sebagai juaranya. Boro-boro juara, 10 besar juga engga. Hahahaha. Karena kedurjanaan Kalkulus di kala TPB, pupus sudah harapan cumlaude sejak tahun pertama. Mohon maap ya Pak, Bu.

Dari saat itu, karena saya sadar diri sudah ga bisa memenangkan kompetisi (apalagi kalau dibandingin abang-abangku yang lulus cumlaude sempurna), maka saya kejar ketertinggalan dengan jadi fakir lomba semasa kuliah. Ga keitung deh saya ikutan berapa kejuaraan. Buat bawa pulang piala. Biar masih bisa banggain Bapak sama Ibu. Biar ga dicoret dari daftar Kartu Keluarga hahaha. Saya juga menenggelamkan diri di kesibukan BEM, selain buat asah leadership di organisasi, juga buat bahan bagus-bagusin CV :)))

Pasca kuliah, soal kerjaan, saya akhirnya memilih pekerjaan yang sama sekali berbeda dari semua lulusan di angkatan saya.

Nih ya, kalau seandainya saya ikutan Test OJK, PCPM BI, CPNS Kemenkeu, atau Ditjen Pajak, aduh apalah saya bukan anak STAN yang punya jatah puluhan persen :’) Saya juga bukan anak “kompetisi” super jenius yang bisa menyisihkan ratusan ribu peserta. Walau, alasan utama saya sebetulnya, “Karena saya tahu apa yang saya ga mau saat itu.”. [Gatau kalau besok sore – tambah Dilan]

Untuk akhirnya ada di industri startup sekarang, saya mensyukuri keputusan dulu yang pernah saya ambil. Tiga setengah tahun lalu, startup adalah hal yang sama sekali asing buat sebagian besar telinga kita. Sekarang, Industri ini ada di deretan teratas pekerjaan paling dibutuhkan dalam 10 tahun ke depan.

Dan untuk mencuri start dari 3 tahun lalu, jadi bekal yang amat sangat berharga untuk awal di pertempuran berikutnya. Lu orang, semacam sudah punya starting point di level tertentu. Dan itu kabar baik sebagai pembuka. Seperti beberapa waktu lalu saya bertemu dengan Pak J, beliau menawari sesuatu. Saya tanya, “why me?“. Dengan santai Beliau jawab, ‘karena kamu sudah makan garam di industri ini’. Singkatnya, ga perlu invest di orang yang belum pasti cuan atau bo cuan-nya.

Sementara itu, saya menaruh salut yang besar kepada kawan-kawan saya, baik seangkatan maupun senior, yang keluar sebagai juara di “kompetisi”. Mereka punya kualitas dan skill yang ga diragukan. Pada mereka-lah, akhirnya kursi-kursi eselon tertinggi Republik ini akan kita titipkan di masa yang akan datang.

Moral of the story-nya cuma satu : Be the best version of yourself! Entah kamu anak kompetisi, atau anak industri. Kalau ga bisa jadi yang terbaik, maka menjadi “unik” adalah koentji.

Bukan begitu, warganet?

Buat saya pribadi,

Saya mungkin bukan anak kompetisi. Tapi saya yakin, saya dibutuhkan industri.

Haus belajar, mau beradaptasi, less drama, dan bisa dipercaya, adalah pondasi dari segala pondasi.

Mari..

Leave a comment