Dieng, Tentang Negeri di Atas Awan

Repost :

Saya kira tadinya ini cuma ada di cerita Sun Go Kong. Yang kalau Go Kong protes, bisa langsung nemuin raja, dan perdana menteri di kahyangan di atas awan. 

Saya kira tadinya ini cuma ada di buku dongeng hadiah Dancow. Ada keluarga petani yang berkebun di atas langit.
Berdiri di puncak Bukit Sikunir di pagi hari, menatap lamat matahari yang sepenggalah naik dari balik Gunung Sindoro. Awan putih bergumpal jauh di bawah tempat kami berdiri. Membentuk samudera. Bergumpal-gumpal, kesana kemari ditiup angin.

Mengalihkan pandangan, terpampar syahdu sebuah desa yang kami lewati tadi. Sembungan namanya. Dialah desa tertinggi di tanah Jawa. Dialah negeri di atas awan yang sesungguhnya. Negeri yang tumbuh ratusan penduduk baik hati, yang mau kami ganggui di waktu Subuh menumpang wudhu. Oh. Di atas awan mereka berkebun, di atas awan mereka mendirikan sekolah, di atas awan pula mereka menemui Tuhannya lewat sujud.

Waktu itu tanggal 5 Februari. Dini hari jam dua pagi, dari sebuah rumah di Magelang, kita udah duduk manis di mobil dan bersiap menuju Dieng. Berbekal Google Maps, dan nasi bungkus buatan ibu Ikhsan. Dieng letaknya di Wonosobo, sekitar dua jam dari posisi Magelang. Jadi kira-kiranya jam 4 pagi udah bisa nanjak. Tapi rencana tinggal harapan. Baru sampai gerbang Dieng jam 4 lebih, dan masih ada 10 kilometer lagi untuk sampai di trek nanjaknya. Ditambah hal yang paling ditakuti akhirnya kejadian. Hujan.
Perjalanan ini sepenuhnya patuh pada Google Maps, dan bekal cerita pengalaman orang-orang di Google. Kalau udah sampai masjid anu berhenti, kalau udah sampai plang ini bisa cari guide, kalau udah ketemu gerbang anu, batas mobil boleh jalan, dan seterusnya. Berhubung waktu Subuh, berhentilah kita di musholla. Uniknya, mushollanya tanpa tempat wudhu apalagi toilet. Menumpanglah kami di rumah warga.

Singkat cerita, sampailah kita di gerbang Sikunir. Begitu sampai di titik pendakian, beberapa dari kita langsung lari-larian berharap bisa mengejar sedikit golden sunrise. Tanpa pemanasan. Yang harusnya haram dilakuin sama orang manapun yang mau mendaki. Apalagi yang belum pernah sama sekali. Hasilnya bisa ditebak. 1/7 perjalanan sudah habis nafas. Kita bahkan kalah cepat sama matahari, yang sepertinya udah terbit. Dieng yang katanya dingin bisa capai suhu minus, ga berasa dingin lagi.

That moment, di tengah pendakian, ada adegan yang film banget. Salah satu dari kita ga sanggup melanjutkan perjalanan. Doi tersengal, sedikit lagi muntah. Kemudian katanya kurang lebih begini, “gue ga kuat lagi, ga kuat, serius ga kuat” .. “kalian aja yang lanjutin dakinya, gue gapapa ditinggal disini aja..”, mukanya merah, nafasnya ga beraturan. Gue sebenarnya agak panik, duh ini gak bakal kayak Arial di 5cm kan.. Arial di 5cm padahal dikenal paling olahragawan, paling atletis, paling sehat, tapi di tengah hampir gabisa lanjutin jalan. Nah ini sama. Yang ngomong atlet juga… Tapi kemudian dijawab ga kalah film sama seorang lainnya, “engga ka nins.. kita bakal daki sama-sama.. ga bakal ada yang ninggalin..”
Hahahaha. Drama banget kayak Pilpres :’)

Kemudian sesaat setelah itu..
Kami berdiri di puncak Bukit Sikunir di pagi hari, menatap lamat matahari yang sepenggalah naik dari balik Gunung Sindoro. Awan putih bergumpal jauh di bawah tempat kami berdiri. Membentuk samudera. Bergumpal-gumpal, kesana kemari ditiup angin.

Walau sekilas di mataku, gumpalan awan itu perlahan membentuk wajahmu. Sahabat terbaik yang menghembus nafas terakhirnya di balik Gunung itu.

“Robby Rifal Hamdani. Ini tahun kedua kita tak berpuka puasa bersama”.

Sejurus kemudian aku memahami. Kehidupan di atas awan itu benar ada, kawan.

— Tamat.

Dari atas Sikunir, nampak desa di atas awan itu. Sembungan namanya.
Gue yang motret nih :’))))
Foto siluet pertama. Mendapati matahari yang ga lagi bisa dibilang golden sunrise -_-
Orang mana coba yang kepikiran bawa balon tiup ke gunung :))
Di balik gunung Sindoro 🙂
We’re on the SKY!
Bahagia akhirnya bisa sampai disini tanpa guide :’)
Itu yang pada duduk adalah dua aktor yang dimaksud di cerita di atas :p
Iya, di balik gunung itu… Semoga bahagia dan tenang disana yah, Fal :’D

Sarapan di tepi Danau Cebong. Danau ini persis di bawah Sikunir. Jadi setelah turun dari puncak, kita mampir kesini dulu sebelum melanjutkan perjalanan ke objek Dieng berikutnya,

See? Negeri itu benar ada. Mereka berkebun di atas awan 🙂
Memandang telaga dari kejauhan 😀
Konon, ini tempat foto ter-mainstream di Telaga Warna…
Menuju .. salah satu objek setelah Telaga Warna

Background belakang sebenarnya adalah hijaunya telaga

Akhir kata, terimakasih Sikunir, Telaga Warna, dan semua kenangan di Dieng. Semoga kita bisa ketemu lagi yaa. 

Sekian. Wassalamualaikum wr.wb.

2 Comments Add yours

Leave a comment