Kontemplasi : Rokok

Bayangkan sebuah selang atau pipa, sambung menyambung sepanjang 2.400 kilometer, dari Jakarta hingga Surabaya, balik lagi ke Jakarta, lantas ke Surabaya lagi. Maka sepanjang itulah jalur ‘pipa’ udara berukuran super mini di kedua paru-paru kita. 2.400 kilometer saluran udara sambung menyambung, melintas kesana kemari, yang tidak error, keliru, mampet. Diberikan gratis oleh Tuhan kepada manusia.
Lalu kita rusak dengan menghisap asap rokok?
 …
Yang sering didengungkan ini : industri rokok memberikan triliunan cukai ke negara. Ada ratusan ribu orang yang tergantung nafkahnya dari rokok.
My dear, dalam hal-hal prinsip kebenaran, kita tidak pernah memakai argumen untung rugi materi.  Jika hanya memikirkan itu, kenapa kita tidak sepakat legalkan saja bisnis judi dan prostitusi di negeri ini? Return of investmentnya lebih gila, margin keuntungannya berlipat, uangnya lebih dahsyat dibanding rokok, dan kita bisa kasih jutaan orang lowongan pekerjaan.
Atau, hei, kita legalkan ganja, heroin, itu sungguh bisnis menjanjikan, tanami satu provinsi dengan ganja, negeri ini bisa lebih makmur dibanding negeri manapun. Dan kita butuh jutaan tenaga kerja dalam proyek mega rakasasa tersebut.
Tetapi apakah kita mau menukar dengan kerusakan yang lebih besar? Kerusakan yg datang dari industri merokok itu besar sekali, terlepas dari apakah orang-orang mau melihatnya atau tidak.
Keuntungan bersih PT HM Sampoerna tahun 2012 adalah 9,8 triliun rupiah.
Kalau gaji kita adalah 10 juta/bulan, maka butuh nyaris 1.000.000 bulan bekerja agar menyamai untung perusahaan rokok ini.
Siapa yang paling kaya dengan adanya bisnis rokok? Petani tembakau? Pemerintah lewat cukai? Buruh perusahaan rokok? Omong kosong, kawan.. Yang kaya adalah pemilik perusahaan–yang keluarganya bahkan menyentuh rokok pun tidak.

Tentang sebuah pertanyaan dari seorang sahabat, “Mengapa rokok selalu dipandang negatif?”
Saya tak akan mencari pembenaran atas argumen pribadi, pun tidak akan mencoba mencari kesalahan atas argumen yang disampaikannya.
Mencoba mengerti mereka yang mencari ketenangan dengan cara ini. Mencoba mengerti mereka yang mencari teman lewat tiap batangnya. Mencoba mengerti mereka yang beroleh inspirasi darinya..
Semoga suatu hari, mereka mengerti, kalau pengertian ini, semata-mata karena kita tak cukup berani mengusik ketenangan mereka yang kita sayang.
Pun, semoga suatu hari, ketika berada dalam sebuah ruangan, ketika kamu masih berpendirian pada argumenmu, setidaknya kau menghargai mereka yang berseberangan denganmu. Tidak membumbungkan asap rokokmu dan meracuni saudaramu..
My dear, panggil sisa kepedulian kita. Nurani kita..
Berkolaborasi dengan catatan Tere Liye.

2 Comments Add yours

  1. Iya iyaa naaa, tapi kan selama orang yg ngerokok itu gak mengganggu lu kan gak papa. Maksud gw dia tahu aturan kapan dia merokok n kapan gak…
    Hehehe, semoga gw bisa berhenti yah hahahah

    Like

  2. Unknown's avatar Ratna Sofia says:

    Gapapa banget ril.. Tapi sedih kalau bisa ngurangin waktu (umur dan sehat) yg harusnya bisa lebih lama sama orang itu :')
    Hehe aamiiinn eril.. ^^

    Like

Leave a comment