Mercusuar!

“1 dari 3 Penduduk di Indonesia Belum Terjangkau Listrik dan Hidup Dalam Kegelapan, Sementara Jutaan Lain Terancam Pemadaman Listrik.”

Ah, begitu kurang lebih judul besar berita online yang terbaca oleh saya di suatu siang. Judul yang ‘berani’, sekaligus menyentak.
Saya Ratna, seorang mahasiswi IPB, kelahiran Bali.
Sejak lahir sampai sekarang, saya mengenal bohlam, TV,  dan teknologi lainnya dengan baik. Selama kurun waktu itu berarti masa pertemanan saya dengan listrik. Dekat. Sangat dekat malah. Meskipun berkali-kali mencoba membayangkan, bagaimana manusia sebelum Michael Faraday –atau setidaknya Alva Edison-  hidup tanpa listrik, masih belum tergambar di benak saya, bagaimana manusia abad ini masih merasakan ‘kebutaan’ itu.

Indonesia, negeri kita, dengan jumlah desa yang mencapai 70.611 desa, nyatanya sebanyak 32.379 diantaranya masuk dalam kategori desa tertinggal atau sekitar 45% dari seluruh desa. Sebagian besar desa tertinggal masih belum terjangkau listrik, dan bila malam hari tiba mereka masih memakai lampu minyak tanah sebagai sumber penerangan. (http://glcgreenlightcool.com).

Bukan, tulisan ini bukan untuk penghakiman atau bentuk protes terhadap pemimpin negeri tentang kurangnya pasokan listrik.
Perguruan tinggi, pengajar-pengajar hebat, juga tokoh-tokoh inspiratif lain, membentuk banyak sekali mindset di kepala ini. Mengutip kata seorang pejuang pendidikan, Anies Baswedan, “.. stop cursing the darkness, let’s light more and more candles..”. Mari kita berhenti menghardik kelam, dan bersama-sama menyalakan lilin.
Pun demikian halnya dengan berbagai isu di negeri ini, termasuk masalah klasik : listrik. Abad dua puluh, seharusnya bukan lagi saatnya kita berdarah-darah, melakukan aksi demo yang kemudian diikuti dengan penghancuran sarana umum, untuk berjuang atas nama perubahan. Bukan lagi dengan mogok makan, membuat macet jalanan, beramai-ramai melempari gedung PLN, atau sekedar membakar foto petingginya.
Sebelum menguntai harapan untuk PLN, izinkan saya membahas tiga dari ribuan solusi yang bisa sama-sama kita lakukan untuk membantu PLN, utamanya membantu mereka yang belum merasakan betapa berharganya listrik.
Membangkitkan Listrik Lewat Alam.
Negeri yang kita pijaki ini, adalah tanah surga (setidaknya menurut Koes Ploes). Kekayaan alam yang tak berbilang, pesona laut, juga ragam satwa dari Pulau We sampai Rote, selayaknya kita syukuri dengan bijak.
Percaya, Tuhan lewat alamnya menyediakan energy superbesar untuk kita yang mau berusaha. Energi listrik, misalnya. Sementara menunggu PLN dengan program-program pembenahannya hingga sampai menjangkau seluruh Indonesia, tidak ada salahnya kita berdamai dengan alam, dan mulai bergerak.
PLTO di Portugal.

Listrik Tenaga Ombak. Pernah dengar? Yah, ini inovasi dari Portugal. Yang memanfaatkan tenaga ombak untuk menghasilkan energi listrik superbesar, yang nantinya akan mencukupi kebutuhan listrik dunia. Sebuah perhitungan menyebutkan, 1% saja pantai di Indonesia sudah cukup untuk memenuhi pasokan listrik negeri. Indonesia diperkirakan diperkirakan bisa mengonversi per meter panjang pantai menjadi daya listrik sebesar 20-35 kW. Dengan perkiraan potensi semacam itu, seluruh pantai di Indonesia dapat menghasilkan lebih dari 2~3 Terra Watt Ekuivalensi listrik, bahkan tidak lebih dari 1% panjang pantai Indonesia (~800 km) dapat memasok minimal ~16 GW. Angka ini masih mampu mencukupi total kebutuhan listrik Indonesia pada tahun 2011, kurang lebih 7,8 GW. (sumber data : http://forum.tempo.co)
Selanjutnya, Listrik Tenaga Air.
Ah, untuk lebih sederhana, mari belajar dari pemuda ini. Namanya Tohir, 25 tahun, lulusan kelas V Sekolah Dasar. Pemuda ini, berhasil mengenalkan cahaya, listrik, kepada ribuan orang-orang di desanya, juga ribuan masyarakat Indonesia lainnya. Tohir, dengan kincir-kincir air buatannya mampu mengalirkan listrik, ke desa yang dulunya, bahkan tidak mengenal penerangan, kecuali minyak tanah.
Tohir, dan kincir-kincir airnya.
Tahun 2001, iadibantu tiga warga memulai proyek pembangunan kincir air dengan dukungan dana dari warga desa. Bahkan mereka tidak hanya membangun satu kincir air, tetapi tujuh kincir air. Satu kincir air yang berdiameter 2,5 meter itu mampu menghasilkan listrik 3.000 watt-5.000 watt.
Desa yang dulunya gelap, benderang sudah kini. Terimakasih, Kak Tohir 🙂
Silent Day, Bali Hemat 4 Miliar Listrik.
Mungkin di tahap ini kita bisa belajar dari kearifan lokal Bali. Pernah mendengar hari raya Nyepi, bukan? Nyepi, yang diketahui kebanyakan orang, adalah ritual keagamaan umat Hindu di Bali, yang dilakukan dengan mematikan lampu, tidak bepergian keluar rumah, dan melakukan jenis pekerjaan apapun. Sesungguhnya yang terjadi di Bali lebih dari itu. Lebih dari sekedar simbol ketaatan salah satu umat. Saat hari itu datang, maka seluruh masyarakat –tanpa memandang agama-, melakukannya dengan senang hati. Dunia luar mungkin tidak semuanya tahu, saat masyarakat Bali berada di hari ini, mereka menghemat lebih dari 20.000 ton CO2. Bahkan, PLN mencatat, di tahun 2012, Bali menghemat 4 Miliar Lebih, hanya dalam satu hari.
Sempat terbayang, jika satu pulau kecil saja bisa menghemat lebih dari 20.000 ton emisi, juga 4 miliar listrik per harinya, bagaimana jika seluruh gugusan pulau di Bumi melakukan hal yang sama? Bumi perlu bernafas, bukan? Ah, sayangnya kebanyakan kita tidak rela memberikan ruang untuk itu, walaupun hanya sehari, dari 365 hari dalam setahun.
Berbagi, Ayo Berbagi!
Sebaik-baik manusia, adalah dia yang bermanfaat bagi orang lain. Disekitar kita, masih ada sepertiga warga negeri yang belum mengecap cahaya bohlam, dan kemudahan lainnya yang diberikan listrik. PLN, sebagai satu-satunya lembaga Pemerintah yang menangani ini, tentu akan melakukan langkah yang sia-sia, jika pergerakannya tanpa kita ikuti dengan sebuah kontribusi.
Sudah saatnya kita berbagi kehidupan dengan jutaan anak di seluruh pelosok negeri, sudah saatnya kita mau berbagi listrik. Mudah saja. Mari kita berbagi listrik, dengan penggunaan listrik yang seperlunya. Mematikan alat-alat elektronik ketika tidak dibutuhkan. Mematikan lampu kamar saat bepergian. Memastikan gadget dalam keadaan offline, ketika tidur. Ah, bukankah perubahan besar selalu berawal dari yang kecil?
MERCUSUAR. Inilah harapan saya bagi PLN. Menjadi sumber cahaya yang sesungguhnya. Tanpa padam, tanpa redup. Melakukan pembenahan. Melebarkan jangkauan. Mengirimkan diplomasi kepada desa-desa tanpa penerangan. Mengajari, bahwa mereka pun bisa membuat listrik. Mengajak semua orang untuk berdamai dengan alam. Hingga suatu hari nanti, pada masanya, gugusan kepulauan ini akan bercahaya seutuhnya.
Dan PLN, harapan itu, semoga bisa kami tukar dengan semangat pembaharuan. Dengan semangat pergerakan. Sementara PLN terus melakukan pembenahan di berbagai bidang, maka kami akan terus mencoba berdiri, dan bersinergi dengan alam, mencipta listrik yang mandiri.
Doakan.   
Semangat, teman-teman Muda \m/

Leave a comment